🎟️ Hakim Ad Hoc Tipikor
MahkamahAgung Republik Indonesia Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas IA Jalan Cut Meutia No. 23 Kota Banda Aceh - ACEH. Email : it.pnbandaaceh@gmail.com
Rapat Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan nama-nama Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung (MA) terpilih periode tahun 2021-2022 sebagaimana hasil laporan dan pembahasan Komisi III DPR RI. Adapun nama-nama terpilih tersebut yaitu Calon Hakim Agung Kamar Perdata Dr. Nani Indrawati S.H., M.Hum. dan Calon Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Khusus Pajak Dr
Jakarta(Komisi Yudisial) - Calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di MA kedua yang mengikuti rangkaian seleksi wawancara di hari terakhir, Kamis (28/4), adalah Amir Aswan yang merupakan mantan hakim ad hoc Tipikor yang pernah bertugas pada Pengadilan Negeri Jambi. Spesifik menggali argumen dan wawasan pada kebidangan, calon ditanya pandangannya mengenai isu yang bergulir di tengah
Untuklebih jelasnya, berikut Pengumuman Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Tahap XVIII Tahun 2022: Seleksi-calon-hakim-ad-hac-tipikor-tahap-18-tahun-2022 Download « Next: Pengumuman Hasil Seleksi Tertulis Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc » « Previous: Rapat Tinjauan Manajemen Pengadilan Tinggi Bengkulu
Berikut11 Nama Calon Hakim Ad Hoc Tipikor MA Tahun 2021/2022 yang Lolos Seleksi Kualitas. Nasional. 31/01/2022, 19:25 WIB. Kasus Asabri, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Divonis 13 Tahun Penjara. Nasional. 05/01/2022, 23:05 WIB. MK Tegaskan Seleksi Calon Hakim Ad Hoc oleh KY Harus Profesional dan Objektif.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan rekam jejak setiap calon Hakim Ad Hoc Tipikor Mahkamah Agung (MA) harus benar-benar diperhatikan oleh panitia seleksi. Menurut Zaenur, panita seleksi harus bisa memastikan calon hakim tersebut tidak terafiliasi dan mempunyai kedekatan dengan partai politik.
MahkamahAgung Republik Indonesia. Pengumuman / Kamis, 17 Februari 2022 10:58 WIB / Enny Nadra. PENGUMUMAN PENERIMAAN CALON HAKIM AD HOC PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TINGKAT PERTAMA DAN TINGKAT BANDING TAHAP XVII. Jakarta-Humas : Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2022 membuka kesempatan kepada Warga
Prosesseleksi dilakukan karena alasan beberapa Pengadilan Tipikor di Indonesia masih kekurangan Hakim Ad Hoc Tipikor untuk memerika dan mengadili perkara korupsi. Proses seleksi calon Hakim Ad Hoc dilakukan oleh MA dan diketuai oleh Artidjo Alkostar. Direncanakan pada 10 -13 Oktober 2016 akan melakukan tahapan seleksi profile assesment dan
Bahwapenegasan Hakim dan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 46 tentang Pengadilan Tipikor yang berbunyi : "bahwa yang dimaksud Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc"; Kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa
vJ66d3. loading...Nova Harmoko dan Ahmad Fauzi kanan bawah membacakan isi permohonan uji materiil masa jabatan hakim adhoc saat persidangan pemeriksaan pendahuluan, Senin 2/11/2020. Foto/ Youtube MK. JAKARTA - Ketentuan masa jabatan hakim adhoc dalam UU Pengadilan Tipikor digugat. Penggugatnya adalah dua hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor Denpasar, yaitu Sumali dan Hartono. Secara spesifik, keduanya mengajukan gugatan uji materiil Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi UU Pengadilan Tipikor terhadap UUD ini berbunyi,”Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 4 untuk masa jabatan selama 5 lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 satu kali masa jabatan.”Dalam pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi MK, Senin 2/11/2020, pemohon mengungkapkan bahwa mereka sebagai hakim adhoc Pengadilan Tipikor Denpasar telah dirugikan hak konstitusionalnya atas pemberlakukan Pasal 10 ayat 5 para pemohon, periodisasi jabatan hakim adhoc tipikor selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali jabatan mengancam kebebasan hakim. Hal itu juga menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim adhoc Pengadilan Tipikor. "Ini bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," tegas Nova Harmoko, kuasa pemohon. Baca Aturan Sumber Daya Air Batal Direvisi, MK Tolak Uji Materiil Dia menjelaskan, UU Kekuasaan Kehakiman merupakan UU yang menjadi payung kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam UU tersebut tidak ada satupun norma pasal yang mengatur periodisasi bagi hakim di lingkungan peradilan maupun Mahkamah Agung MA. Sehingga, norma tentang periodisasi hakim adhoc Pengadilan Tipikor adalah kerugian yang nyata bagi para pemohon. "Yang melampaui peraturan dasarnya yakni ketentuan Pasal 24 ayat 1, Pasal 27 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," menguraikan, periodisasi masa jabatan hakim adhoc Pengadilan Tipikor sangat jelas bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Musababnya, periodisasi jabatan sesungguhnya mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan yang serius yakni masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim adhoc Pengadilan rekrutmen hakim adhoc Pengadilan Tipikor juga dilakukan dengan proses yang sangat ketat dari seluruh peserta dengan berbagai macam latar belakang profesi. Proses seleksi melibatkan dan diawasi sepenuhnya oleh Presiden, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, dan juga oleh MA. Nova menggariskan, pola rekrutmen antara hakim adhoc tidak berbeda dengan pola rekrutmen hakim karir."Jadi dapat dipastikan bahwa periodisasi jabatan hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan perlindungan dan persamaan hukum bagi hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," ujarnya. Baca MK Bakal Gelar Sidang Pembacaan Putusan 11 Uji Materiil UU Nova mengungkapkan, Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009 atau UU Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum. Dalam realitas pemaknaan atas kata 'adhoc' secara dogmatis diartikan sebagai sementara atau peradilan yang tidak tetap. Pengertian ini berbeda dan bertentangan dengan pengertian sebenarnya adhoc yakni untuk tujuan tertentu atau untuk tujuan khusus dan bukan diartikan sebagai sementara atau tidak tetap."Pengertian adhoc bagi hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diartikan sebagai hakim yang bertugas sementara atau hakim yang tidak tetap adalah suatu tafsir yang bertentangan dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 sebagai UU payung bagi penyelenggaraan peradilan di Indonesia. Karena dalam UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan adhoc, tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus," itu pemohon meminta MK bisa menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 dan mengubah frasanya menjadi ”Masa tugas hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 lima tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 lima tahun oleh Mahkamah Agung."muh
BerandaKlinikProfesi HukumHakim Ad Hoc adalah ...Profesi HukumHakim Ad Hoc adalah ...Profesi HukumRabu, 5 Februari 2014Rabu, 5 Februari 2014Bacaan 8 MenitPada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tidak secara jelas status hakim ad hoc sebagai Pejabat Negara, sehingga dibuat Peraturan Menteri Sekretaris Negara yakni Nomor 6 Tahun 2007 dan diganti oleh Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc termasuk kategori Pejabat Negara Lainnya. Kemudian pada UU ASN yang baru disahkan, pada Pasal 122 bahwa Pejabat Negara yang dimaksud, poin e ...... hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc. Pertanyaannya, apakah dengan adanya statemen UU ASN pasal 122 poin e tersebut status Hakim Ad Hoc sebagai Pejabat Negara Lainnya dianggap tidak berlaku?Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “UU Kekuasaan Kehakiman”, Hakim Ad Hoc adalah“hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, atau Pengadilan menjawab apakah Hakim Ad Hoc merupakan pejabat negara atau bukan, perlu ditelusuri terlebih dahulu hakekat kekuasaan kehakiman dan lembaga kekuasaan kehakiman. Dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial Bagir Manan 2009. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial judiciary yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara. Di UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi vide Pasal 24 ayat 2. Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan bertindak untuk dan atas nama negara. Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial,berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” Pasal 1 angka 5.“Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” Pasal 19. Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim Ad Hoc juga berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc sementara.Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangka transitional justice keadilan transisional. Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 lima orang, terdiri atas 2 dua orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 tiga orang hakim ad hoc Pasal 27 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000. Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 tiga orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 lima orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc vide Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan kekuasan kehakiman, sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara. Pengaturan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU ASN, yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara, menurut hemat saya adalah tidak tepat. Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan materi yang seharusnya yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” Pasal 1 angka 1.“Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan Pasal 1 angka 2Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara ASN, yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah. Sementara itu, istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung auxiliary state bodies/ agencies. Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” vide judul BAB X UU ASN. Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan isu keberlakuan Pasal 122 huruf e UU ASN, secara normatif tetap sah valid dan berlaku, karena dibentuk oleh pejabat/lembaga yang berwenang DPR dan Presiden sesuai dengan tata cara pembentukan Undang-Undang dalam Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945. Namun demikian, implikasinya menjadi tidak harmonis dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 24 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman. Dengan posisi tersebut, Pasal 122 huruf e UU ASN “dapat dibatalkan” voidable/ verneitigbaar. Artinya, apabila terdapat permohonan pengujian ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi MK dan permohonan tersebut dikabulkan, maka ketentuan tersebut batal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak berlaku. Apabila tidak ada permohonan pengujian atau permohonan pengujiannya ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK, maka ketentuan tersebut tetap berlaku, dengan segala implikasi hukum yang menyertainya. Dasar hukumUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KehakimanUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil NegaraTags
Hakim di pengadilan Tipikor yang berintegritas mendesak dibutuhkan. Berdasarkan data dari Koalisi Pemantau Peradilan, hingga saat ini terdapat 27 Hakim dan Panitera yang tertangkap oleh KPK, termasuk hakim di pengadilan Yudisial KY sedang melakukan rangkaian seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Tipikor sejak November 2021. Saat ini, terdapat 11 peserta yang lulus pada tahap seleksi hakim di pengadilan Tipikor yang berintegritas mendesak dibutuhkan mengingat terdapat berbagai kasus korupsi yang melibatkan hakim. Berdasarkan data dari Koalisi Pemantau Peradilan, setidaknya hingga saat ini terdapat 27 Hakim dan Panitera yang tertangkap oleh KPK, termasuk hakim di pengadilan Sekjen Transparancy International Indonesia TII, Wawan Suyatmiko, menyampaikan posisi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia saat ini menunjukan besarnya tantangan pemberantasan korupsi. Selain itu, dia menyampaikan masyarakat masih melakukan suap dari masyarakat saat berurusan dengan ini menjadi catatan penting reformasi hukum termasuk pemberantasan korupsi. Sehingga, alih-alih berharap yudikatif harusnya jaga integritas dan anti-korupsi, justru dengan berbagai temuan menciderai kepercayaan publik pada lembaga keadilan,” jelas Wawan dalam Diskusi Publik “Mencari Sosok Hakim Ad Hoc Tipikor yang Berintegritas” pada Rabu 2/3. Baca OTT PN Surabaya; KPK Tetapkan Hakim, Panitera dan Pengacara sebagai TersangkaAnggota Komisi Yudisial KY, Siti Nurdjanah, menyampaikan pihaknya menyelenggarakan seleksi hakim ad hoc ini berdasarkan kebutuhan dari Mahkamah Agung MA. Setelah menerima 57 pendaftar, KY mengumumkan 46 orang tersebut lulus administrasi. Kemudian, KY menyelenggarakan uji kelayakan pada calon hakim dengan menguji kualitas, kesehatan dan kepribadian, dan wawancara. Pada tahap akhir, KY akan mengirimkan para peserta yang dinyatakan lulus ke DPR untuk ini seleksi ini sangat menentukan mendapatkan hakim ad hoc berintegritas bagaimana KY itu harus independen,” ungkap Siti.
hakim ad hoc tipikor